Pada 6 Agustus 2009, W.S.
Rendra sang penyair yang dijuluki Si Burung Merak meninggal dunia.
Seniman ini memulai kariernya sejak 1950-an.
Pria ini pertama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada 1952 melalui Majalah Siasat.
W.S.
Rendra lahir pada 7 November 1935 lalu di Solo, Jawa Tengah, dengan nama asli Willibrordus Surendra Broto Rendra.
Rendra lahir dari pasangan Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah.
Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa di salah satu sekolah Katolik di Solo.
Selain itu, Sugeng Brotoatmodjo ini juga dikenal sebagai pelaku seni drama tradisional.
Sementara sang ibu adalah seorang penari di istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Dikutip dalam buku karya Harlina Indijati dan Abdul Murad yang berjudul Biografi Pengarang Rendra dan Karyany”, keluarga ini adalah keluarga Katolik yang dibesarkan dalam lingkungan budaya Jawa.
Tumbuh-besar di lingkungan seni dan budaya, membuat Renda mampu menghasilkan karya sastra berupa puisi, naskah drama, cerpen, dan lainnya.
Hingga SMA, WS Rendra menempuh pendidikannya di Surakarta, Jawa Tengah.
Sepanjang 1950-an puisi-puisi dan cerpennya terus dimuat dalam berbagai majalah, seperti Kisah, Seni, Basis, dan Konfrontasi.
Lulus SMA, Rendra lanjut berkuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) jurusan Sastra dan Budaya Inggris.
Julukan Si Burung Merak muncul saat Rendra dan sahabatnya yang berasal dari Australia mengunjungi Kebun Binatang Gembiraloka di Yogyakarta untuk berekrasi.
Saat mereka tiba di kandang burung merak, terlihat seekor merak jantan yang tengah dikerubungi merak-merak betina.
Secara spontan, Rendra berkata, “Seperti itulah saya”.
Dari situlah julukan Si Burung Merak kemudian lekat dengan sosok Rendra.
Beberapa rangkaian puisi dan sajak yang pernah diciptakan oleh Rendra, termasuk Blues untuk Bonnie, Sajak-sajak Sepatu Tua, Mencari Bapak, Perjalanan Bu Aminah, Nyanyian Orang Urakan, Disebabkan oleh Angin, Sajak Sebatang Lisong, Orang-Orang Rangkasbitung, State of Emergency, Doa untuk Anak-Cucu, dan masih banyak lagi.
Rendra menganggap menciptakan sebuah karya adalah ibadah.
Seperti saat menciptakan puisi, di mana seorang seniman harus peka terhadap panggilan pesona dan lingkungan, alam, manusia, serta hewan atau semua ciptaan Tuhan dan masalah yang mereka hadapi.
Mengutip dari buku Bakdi Soemanto yang berjudul Karya dan Dunianya, Rendra pernah ditangkap dan dipenjara di pusat penahanan Polisi Militer Guntur.
Rendra baru dibebaskan sembilan bulan tanpa diadili.
Setelah dibebaskan, W.S.
Rendra tidak diizinkan untuk mementaskan puisi atau drama.
Hingga pada 1986 ia kembali menulis, menyutradarai, dan memainkan teater berjudul Penambahan Reso.
Sampai 2003, Rendra dikenal secara internasional sebagai penyair besar.
Bahkan, Rendra dipercaya menjadi tuan rumah festival puisi internasional pertama di Indonesia, yang digelar di Makassar, Surakarta, Bandung dan Jakarta.
Kemudian pada 2008, Rendra memperoleh gelar Doktor Honoris Causa (HC) dari UGM.
Karya-karya Rendra dianggap berpengaruh dalam khasanah sastra di Indonesia.
Namun tak lama setelah itu, W.S.
Rendra wafat, tepatnya pada 6 Agustus 2009.
WINDA OKTAVIA Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.